Metabolisme Zat Gizi Makro dalam Intermittent Fasting


Metabolisme Zat Gizi Makro dalam Intermittent Fasting
M. Sadli Umasangaji, Rosi Rose Ina S, Viska Amalia Pradini







Pendahuluan

Masalah gizi di dunia saat ini tengah mengalami double burden dimana baik kasus gizi kurang dan gizi buruk serta gizi lebih meningkat dari tahun ke tahunnya. Menanggapi permasalahan ini muncul lah berbagai macam diet di kalangan masyarakat salah satunya ialah diet Intermittent Fasting. Diet ini banyak di gandrungi oleh masyarakat dunia karena dianggap mampu lebih cepat untuk menurukan berat badan, meningkatkan kesehatan serta menyederhanakan gaya hidup. Namun banyak dari masyarakat yang belum mengenal dan mengerti lebih lanjut bagaimana diet ini dan apa efek untuk metabolisme di dalam tubuh jika dilakukan secara berkelanjutan. Pada makalah ini akan dijelaskan secara detail apa yang dimaksud dengan intermittent fasting dan bagaimana metabolisme yang terjadi di dalam tubuh saat menjalani diet tersebut serta efek yang diberikan kepada kesehatan.



Gambaran Umum Diet Intermittent Fasting

Definisi puasa pada manusia dicapai dengan membatasi asupan makanan atau minuman berkalori menjadi minimal atau tidak sama sekali, dalam periode waktu tertentu, mulai dari dua belas jam hingga tiga minggu. Dalam konteks fisiologi, puasa diartikan sebagai status metabolik yang dicapai seseorang setelah tidak makan sehingga telah tercapai pencernaan dan penyerapan makanan secara lengkap yang pada umumnya terjadi 3-5 jam setelah makan (Longo & Mattson, 2014).

Intermittent fasting diartikan sebagai suatu pola makan dengan berbagai macam jenis atau metode dengan sedikit atau tanpa intake kalori dalam periode waktu tertentu, dari 12 jam hingga beberapa hari, yang dilakukan berulang-ulang dalam keseharian (Anton et al., 2018).

Rejimen puasa intermiten (intermittent fasting/IF) yang dilakukan secara rutin dapat menginduksi perubahan atau peralihan metabolik (metabolic switch) yang memiliki potensi dalam perbaikan komposisi tubuh, aktivasi jalur yang mengoptimalkan fungsi-fungsi fisiologis, meningkatkan performa, dan memperlambat proses penuaan serta perjalanan penyakit (Anton et al., 2018).

Intermittent fasting memiliki peraturan yang bervariasi untuk mengurangi konsumsi makanan. Pada umumnya, metode ini hanya menentukan dalam seminggu, kapan saja waktu untuk berpuasa. Anda cukup berpuasa makan saja. Selama periode tersebut, Anda diharuskan untuk mengonsumsi makanan dalam jumlah yang sedikit atau tidak makan sama sekali. Terdapat berbagai cara jitu melakukan intermittent fasting. Di bawah ini beberapa metode yang paling populer yaitu :

1. The 16/8 method: membagi 16 jam waktu berpuasa dan 8 jam waktu mengonsumsi makanan. Contoh: Anda boleh makan dari jam 1 siang sampai jam 9 malam, kemudian dilanjutkan berpuasa hingga 16 jam ke depan.

2. Eat-Stop-Eat: mengharuskan Anda tidak mengonsumsi makanan selama 24 jam dalam beberapa hari per minggu. Misalnya Anda berhenti mengonsumsi makanan dari waktu makan malam hingga makan malam berikutnya, kemudian dilanjutkan dengan setelah satu hari tidak berpuasa. Menghentikan makan selama 24 jam mungkin terdengar sangat sulit, tapi Anda bisa memulai metode ini secara bertahap alias tidak perlu memulai langsung 24 jam.

3. The 5:2 Diet: dilakukan dengan cara mengurangi jumlah konsumsi hingga 25% dari jumlah normal, sekitar 500 – 600 kalori per hari atau setara dengan satu kali porsi makan. Metode ini dilakukan dalam dua hari per minggu namun tidak berurutan, dan Anda masih dapat mengonsumsi makanan secara normal pada lima hari dalam seminggu.



Intermittent fasting memiliki beberapa manfaat bagi tubuh antara lain:

Puasa dan Komposisi Tubuh

Intermittent Fasting memiliki berbagai dampak baik pada kesehatan, di antaranya perbaikan metabolisme glukosa, reduksi inflamasi, penurunan tekanan darah, perbaikan pada kesehatan kardiovaskular, dan peningkatan resistensi sel terhadap stres dan penyakit pada manusia. Selain itu juga intermittent fasting mampu mengurangi berat badan dan massa lemak secara signifikan (Anton et al., 2018).


Puasa dan Sistem Saraf Pusat

Puasa memiliki pengaruh pada sistem saraf pusat melalui mekanisme peralihan metabolik (metabolic switching) yang terjadi. Pada saat puasa, terjadi deplesi glikogen sebagai cadangan energi yang pada akhirnya proses metabolisme akan beralih dari penggunaan glukosa menjadi penggunaan asam lemak bebas (FFA) dari hasil lipolisis di adiposity (Anton et al., 2018).



Puasa dan Diabetes Mellitus Tipe 2

IF mampu mencegah dan membalikkan keadaan pada diabetes melalui peningkatan sensitivitas terhadap insulin sehingga insulin lebih mampu menstimulasi pemasukan glukosa ke sel-sel otot, sel-sel hepar, dan sel-sel lain termasuk neuron. Perubahan tersebut terjadi akibat perubahan pada jalur penghantaran sinyal oleh reseptor, reduksi mTOR, perbaikan fungsi mitokondria, stimulasi biogenesis mitokondria, dan up-regulasi CREB, BDNF, dan jalur autofagi. IF juga mampu menekan inflamasi yang biasa terjadi pada organ-organ individu dalam kondisi diabetes (Longo & Mattson, 2014).



Puasa dan Kardiovaskular

IF mampu memediasi aksi kardioprotektif terhadap kejadian infark miokard melalui peningkatan level HIF-1α, BDNF, dan VEGF. IF juga melindingi jantung dari peningkatan inflamas, stres oksidatif, dan fibrosis yang berkaitan dengan usia melalui pencegahan peningkatan ERK1/2 dan PBK7 kinase serta pengaturan aktivitas faktor transkripsi STAT3 (Longo & Mattson, 2014).



Puasa dan Inflamasi serta Hipertensi

IF mampu mereduksi TNFα serum dan marker stres oksidatif lain yang berkaitan dengan inflamasi secara signifikan. Puasa juga diketahui memiliki efek pada hipertensi. Puasa dengan hanya mendapat asupan air dan dilanjutkan dengan diet normal mampu menurunkan tekanan darah sistolik ke angka 120 mmHg pada 82% subjek dengan hipertensi (Mattson et al., 2018).



Metode intermittent fasting dapat membuat Anda kelaparan dan merasa stres karena belum terbiasa dengan pola makan yang baru. Rasa lapar juga dapat menurunkan performa aktivitas jika Anda tidak mencukupi kebutuhan nutrisi saat periode makan. Efek samping lainnya seperti sakit kepala dan perubahan jam tidur mungkin terjadi pada saat Anda memulai melakukan metode ini. Kabar baiknya, efek ini bersifat sementara sampai tubuh beradaptasi dan Anda menemukan metode yang sesuai. Meskipun cenderung aman, intermittent fasting tidak diperuntukkan bagi orang-orang dengan kondisi medis tertentu. Oleh karena itu hindari atau konsultasikan dengan dokter jika Anda mengalami beberapa kondisi di bawah ini.

· Memiliki riwayat penyakit diabetes

· Mengalami masalah kadar gula darah.

· Mengalami tekanan darah rendah.

· Menjalani masa pengobatan.

· Memiliki indeks massa tubuh di bawah normal.

· Memiliki riwayat gangguan makan.

· Seorang perempuan yang sedang mencoba hamil.

· Perempuan yang mengalami perdarahan berlebih saat menstruasi.

· Seorang perempuan yang sedang hamil atau menyusui.




Metabolisme Zat Gizi Makro pada Intermittent Fasting

Metabolisme Karbohidrat

Glikogenolisis

Glikogenolisis adalah reaksi hidrolisis glikogen menjadi glukosa, perubahan glikogen menjadi sumber energi merupakan proses katabolisme cadangan sumber energi. Enzim utama yang berperan dalam glikogenolisis adalah glikogen fosforilase. Glikogen dalam hati akan di glikogenolisis setelah 12-18 jam puasa. Glikogen dalam otot hanya akan mengalami glikogenolisis setelah seseorang melakukan olahraga yang berat dan lama.


Glikogenolisis merupakan lintasan metabolisme yang digunakan oleh tubuh untuk menjaga keseimbangan kadar glukosa di dalam plasma darah untuk menghindari Simtoma hipoglikemia. Pada glikogenolisis, glikogen digradasi berturut-turut dengan 3 enzim yaitu glikogen fosforilase, glucosidase, dan fosfoglukomutase menjadi glukosa. Hormone yang berperan dalam proses ini adalah glucagon dan adrenalin.

Tahap pertama penguraian glikogen adalah pembentukan glukosa 1-fosfat. Berbeda dengan reaksi pembentukan glikogen, reaksi ini tidak melibatkan UDP-glukosa, dan enzimnya adalah glikogen fosforilase. Selanjutnya, glukosa 1-fosfat diubah menjadi glukosa 6-fosfat oleh enzim yang sama dengan reaksi kebalikannya (glikogenesis) yaitu fosfoglukomutase.



Tahap pereaksi berikutnya adalah pembentukan glukosa dari glukosa 6-fosfat. Berbeda dengan reaksi kebalikannya dengan glucokinase, dalam reaksi ini enzim lain, glukosa 6-fosfatase melepaskan gugus fosfat sehingga terbentuk glukosa. Reaksi ini tidak menghasilkan ATP dari ADP dan fosfat.

Glukosa yang terbentuk inilah intinya akan digunakan oleh sel untuk respirasi sehingga menghasilkan energi, yang energi ini tersimpan dalam bentuk ATP.


Gluconeogenesis

Gluconeogenesis merupakan sintesis glukosa dari senyawa bukan karbohidrat, misalnya asam laktat dan beberapa asam amino. Proses gluconeogenesis berlangsung terutama dalam hati. Asam laktat yang terjadi pada proses glikolisis dapat dibawa oleh darah ke hati. Disini asam laktat diubah menjadi glukosa kembali melalui serangkaian reaksi dalam suatu proses yaitu gluconeogenesis.

Glukogeogenesis yang dilakukan oleh hati atau ginjal menyediakan suplai glukosa yang tepat. Kebanyakan karbon yang digunakan untuk sintesis glukosa akhirnya berasal dari katabolisme asam amino. Laktat yang dihasilkan dalam sel darah merah dan otot dalam keadaan anaerobic juga dapat berperan sebagai substrat gluconeogenesis.



Metabolisme Protein

Protein makanan adalah sumber utama nitrogen yang dimetabolisme oleh tubuh. Asam amino, yang dihasilkan dari pencernaan protein makanan, diserap melalui sel epitel usus dan masuk kedalam darah. Berbagai sel mengambil asam amino ini yang kemudian masuk menjadi simpanan di dalam sel. Asam amino tersebut digunakan untuk membentuk protein dan senyawa lain yang mengandung nitrogen, atau dioksidasi untuk menghasilkan energi.



Sebelum rangka karbon pada asam amino dioksidasi, nitrogen terlebih dahulu harus dikeluarkan. Nitrogen asam amino membentuk asam amino yang bersifat toksik bagi tubuh. Di hati, ammonia dan gugus amino dari asam amino diubah menjadi urea, yang bersifat nontoksik, larut air, dan mudah dikeluarkan melalui urin. Proses pembentukan urea dikenal sebagai siklus urea.



Setelah nitrogen dikeluarkan dari asam amino, rangka karbon mengalami oksidasi. Sebagian besar karbon diubah menjadi piruvat, suatu zat-antara pada siklus asam trikarboksilat (ATK), atau menjadi asetil KoA. Di hati, terutama selama puasa, kabon-karbon ini dapat diubah menjadi glukosa atau badan keton, pada akhirnya, karbon-karbon pada asam amino diubah menjadi CO2 dan H2O.



Dampak Intermittent Fasting pada Metabolisme

Dampak intermittent fasting atau IF, terhadap kesehatan memiliki peran utama terhadap irama sirkadian, mikrobiota usus, dan perubahan pola perilaku.



Intermittent Fasting pada Metabolisme Lemak

Sel lemak dalam tubuh dapat dijadikan sebagai cadangan energi untuk beraktivitas. Glukosa umumnya menjadi sumber energi utama dalam tubuh, namun pada kondisi puasa, sel lemak dijadikan sebagai energi cadangan dikarenakan glukosa tidak dapat digunakan sebagai energi pada kondisi puasa. Hal ini disebut sebagai proses glukoneogenesis dimana salah satunya mengubah cadangan energi dari glukosa menjadi pemecahan asam lemak bebas menjadi keton dan sumber energi tubuh.



Adanya pola makan yang diubah mengikuti pola intermittent fasting membuat tubuh mengalami perubahan dari metabolisme lipid. Perubahan dari metabolisme lipid ini yang digunakan menjadi sumber energi memberikan dampak baik dengan adanya penurunan berat badan dan massa lemak sekitar 8%. Penurunan massa lemak yang dihasilkan juga disertai dengan penurunan kadar trigliserida dan kadar LDL.



Selain itu, adiposit mensekresikan hormone leptin yang mempengaruhi pola makan pada seseorang. Kadar leptin didapatkan meningkat pada orang yang memiliki obesitas, serta berkorelasi terhadap peningkatan dari kadar kolesterol total, trigliserida, tekanan darah, dan efek inflamasi pada pembuluh darah. Pola diet intermittent fasting terbukti dapat menurunkan konsentrasi leptin yang juga berperan dalam menurunkan kadar kolesterol dan menurunkan risiko penyakit metabolik.



Melalui penelitian yang telah dijalankan selama 12 minggu, didapatkan adanya penurunan dari massa lemak, penurunan C-reactive protein (CRP), penurunan leptin dan triasilgliserol. Namun, tidak adanya perubahan dari kadar high-density lipoprotein (HDL).



Intermittent Fasting terhadap Irama Sirkadian

Tubuh manusia memiliki irama sirkadian yang merupakan suatu proses internal dalam tubuh yang berperan dalam pengaturan metabolisme tubuh mengikuti pola bangun dan tidur manusia, seperti contohnya sensitivitas insulin yang akan semakin berkurang sepanjang hari dan peningkatan sintesis lemak di malam hari. Irama sirkadian ini sendiri diatur oleh hipotalamus.



Perubahan dari perilaku dan kebiasaan manusia dapat berperan terhadap perubahan dari irama sirkadian, yang dapat mengubah metabolisme tubuh, termasuk didalamnya adalah pola diet intermittent fasting. Pola diet intermittent fasting memiliki dampak dalam regulasi berat badan serta metabolisme energi yang lebih baik. Hal ini disebabkan karena waktu konsumsi makanan dibatasi per harinya dan mengikuti metabolisme tubuh yang disesuaikan dengan irama sirkadian.



Intermittent Fasting terhadap Mikrobiota Usus

Aktivitas dari mikrobiota di traktus gastrointestinal juga mendapat dampak baik dari pola diet intermittent fasting yang dibuktikan ada penelitian meta analisis yang dilakukan oleh Patterson et al. Diduga ada hubungan antara fungsi gastrointestinal, irama sirkadian dengan mikrobiota usus. Keragaman dari mikrobiota usus dipengaruhi oleh irama sirkadian dan sinyal makan di dalam tubuh. Berdasarkan penelitian tikus, mikrobiota usus bersifat dinamis bergantung dari keragaman komposisi makanan dan fluktasi harian. Perubahan mikrobiota usus pada pasien obesitas menurunkan fungsi mikrobiota untuk menyerap energi dibandingkan dengan mikrobiota usus indidu normal. Perbaikan dari aktivitas mikrobiota ini berdampak positif terhadap regulasi dan stabilitas berat badan.



Intermittent Fasting terhadap Perubahan Pola Perilaku

Perubahan pola perilaku juga menjadi dampak baik dari intermittent fasting. Perubahan perilaku yang signifikan digambarkan melalui perubahan dari asupan kalori per harinya. Asupan kalori yang dibatasi melalui pola diet intermittent fasting terbukti dapat mengendalikan asupan kalori per harinya pada jangka panjang, dimana terbukti bahwa asupan kalori yang masuk menjadi cukup dan tidak berlebih, sehingga berat badan dan metabolisme tubuh akan tetap terjaga teratur.



Adanya perubahan pola asupan kalori yang juga disesuaikan dengan irama sirkadian tubuh menjadi salah satu keuntungan dari pola diet intermittent fasting, dimana pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa mengeluh rasa lapar maupun keinginan berlebih untuk mengonsumsi makanan. Selain itu, pola diet ini dapat menjaga berat badan dan pola makan dalam jangka panjang, tanpa adanya efek samping yang bermakna.



Efek samping dari pola diet intermittent fasting ini yang tersering dilaporkan adalah rasa lemas, sedikit pusing, dan konstipasi. Namun, tentunya karena adanya keterbatasan dari jam makan yang diberikan, pola diet intermittent fasting tidak bisa dijalani pada pasien-pasien tertentu. Pasien-pasien yang memiliki kebutuhan untuk mengonsumsi makanan secara teratur, seperti pasien diabetes tipe I, pasien hamil dan menyusui, populasi lanjut usia yang terkait dengan pengobatan rutin yang membutuhkan konsumsi makanan sebelum konsumsi obat tidak dapat menjadikan intermittent fasting sebagai pola diet.



Intermittent Fasting terhadap Kesehatan

Pola diet intermittent fasting memiliki dampak baik pada penurunan berat badan, metabolisme lemak, sensitivitas insulin, serta efek kardioproteksi. Peningkatan prevalensi penyakit metabolik saat ini menjadikan pola diet intermittent fasting menjadi sebuah solusi terhadap hal ini. Sebuah meta analisis mendapati bahwa pada populasi yang terbiasa dengan pola intermittent fasting didapati 35% lebih sedikit untuk menderita penyakit arteri koroner dan 44% lebih sedikit mengidap diabetes tipe 2.



Intermittent Fasting pada Penurunan Berat Badan

Berdasarkan studi kohort yang dilakukan oleh Malinowski, didapatkan bahwa penurunan berat badan pada pola diet intermittent fasting didapatkan sekitar 2.5 - 9.9% dan terbukti dalam menurunkan massa lemak. Hasil ini didapati pada responden penelitian yang menjalani program diet selama 12 minggu. Selain itu, penelitian ini juga melaporkan adanya penurunan berat badan, massa lemak, dan lingkar pinggang pada orang yang menjalani pola diet ini. Dibanding dengan pola diet lainnya, penurunan dari berat badan dan massa lemak didapati lebih tinggi pada pola diet intermittent fasting.



Berdasarkan telaah sistemik yang dilakukan oleh Ganesan et al, umumnya melalui intermittent fasting, penurunan berat badan akan stabil menurun selama 6 bulan dan akan menetap setelahnya. Total penurunan berat badan dilaporkan 3 - 4 kg dalam waktu 12 minggu. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Bhutani pada tahun 2018, pola diet intermittent fasting akan memberikan hasil yang lebih baik apabila dikombinasikan dengan olahraga 3 kali dalam seminggu. Hasil ini sudah dibuktikan melalui studi yang dilakukan selama 12 minggu.



Pada kondisi obesitas, beberapa systematic review melaporkan pola diet intermittent fasting dapat digunakan untuk menurunkan berat badan jangka pendek dan dapat mempertahankan berat badan jangka panjang.



Intermittent Fasting pada Penderita Diabetes

Intermittent fasting memiliki hasil yang baik dikarenakan terbukti dapat menurunkan kadar HbA1C pada pasien diabetes tipe 2. Secara statistik penurunan kadar HbA1C tidak signifikan, namun mengingat adanya medikasi yang perlu diberikan dan disesuaikan dengan kondisi pasien, pola diet intermittent fasting aman untuk dijalankan bagi penderita diabetes tipe 2.



Selain itu, yang menjalani pola diet ini mengalami perbaikan sensitivitas insulin. Hal ini didukung oleh penelitian oleh Halberg et al. yang menyatakan pria sehat yang menjalani diet ADF mengalami perbaikan sensitivitas insulin yang dinilai melalui peningkatan signifikan glucose infusion rate, adiponectin, dan menghambat lipolisis yang dimediasi oleh insulin.



Pada pasien DM tipe II, penggunaan obat antidiabetes ini dapat disesuaikan dengan pola diet intermittent fasting, dimana pada saat hari berpuasa, sebaiknya dosis dari obat golongan sulfonilurea atau penggunaan insulin dikurangi dosisnya atau diberhentikan terlebih dahulu, dan penggunaan terapi ini dapat dilanjutkan pada hari-hari selanjutnya dimana tidak ada jadwal puasa. Sebaiknya perubahan dosis ini dilakukan oleh dokter terkait dan ahli gizi untuk mengurangi efek samping yang ditimbulkan dari obat.



Intermittent Fasting pada Kardiovaskular

Dampak kardioproteksi dari diet intermittent fasting didapat dari peningkatan konsentrasi adiponektin, penurunan konsentrasi dari kadar low-density lipoprotein (LDL), dan adanya kontrol glikemik yang dihasilkan dari pola intermittent fasting. Adanya efek positif dari pola diet intermittent fasting dibuktikan dapat melindungi otot miokardium dari inflamasi dan kerusakan seluler yang umumnya diakibatkan karena iskemia akibat penumpukan plak pada pembuluh darah koroner.

Aterosklerosis menjadi salah satu penyebab penyakit jantung yang memiliki dampak fatal, yaitu serangan jantung dan kematian. Aterosklerosis sendiri merupakan suatu proses inflamasi kronik yang terjadi pada pembuluh darah jantung, diakibatkan karena adanya penumpukan sel lemak yang membentuk plak pada pembuluh darah. Adiponektin yang merupakan protein plasma pada sel lemak memiliki efek anti inflamasi dan memberikan efek kardioproteksi dengan menghambat penempelan sel lemak pada dinding pembuluh darah jantung.

Hubungan antara pola diet intermittent fasting dengan peningkatan kadar adiponektin sudah terbukti pada penelitian-penelitian in vitro yang telah dilakukan. Sehingga, pola diet intermittent fasting memberikan efek kardioproteksi terhadap perubahan dari metabolisme lemak yang ditimbulkan.



Efek dari Diet Intermittent Fasting

Intermittent Fasting dengan pola diet dengan periode restriksi kalori. Pola diet IF memiliki 3 metode diet. Metode pertama, juga disebut sebagai metode alternate day fasting, dimana pada hari berpuasa tidak ada makanan yang dikonsumsi, dapat digantikan dengan minum air ataupun jus, namun pada hari non-puasa, orang dapat mengkonsumsi makanan sesuai keinginan. Metode kedua adalah modified fasting regimen, dimana pada hari berpuasa, asupan kalori dibatasi hanya 25% dari kebutuhan kalori total dan pada hari non-puasa dapat mengonsumsi makanan tanpa batasan. Tipe ketiga, time-restricted feeding, adalah membatasi waktu makan dalam beberapa jam dalam sehari. Seseorang hanya bisa makan pada jendela waktu tertentu, seperti 16 jam puasa dan 8 jam pada jendela makan (16:8) dan semakin lama jendela makan akan semakin berkurang. Dengan pola diet seperti ini belum tergambar jelas komposisi zat gizinya terutama zat gizi makro. Secara umum maka akan memberikan dampak pada asupan makanan sesuai kebutuhan per harinya.



Perubahan pola perilaku juga menjadi dampak baik dari intermittent fasting. Perubahan perilaku yang signifikan digambarkan melalui perubahan dari asupan kalori per harinya. Asupan kalori yang dibatasi melalui pola diet intermittent fasting terbukti dapat mengendalikan asupan kalori per harinya pada jangka panjang, dimana terbukti bahwa asupan kalori yang masuk menjadi cukup dan tidak berlebih, sehingga berat badan dan metabolisme tubuh akan tetap terjaga teratur. Adanya perubahan pola asupan kalori yang juga disesuaikan dengan irama sirkadian tubuh menjadi salah satu keuntungan dari pola diet intermittent fasting, dimana pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa mengeluh rasa lapar maupun keinginan berlebih untuk mengonsumsi makanan.



Efek samping dari pola diet intermittent fasting ini yang tersering dilaporkan adalah rasa lemas, sedikit pusing, dan konstipasi. Namun, tentunya karena adanya keterbatasan dari jam makan yang diberikan, pola diet intermittent fasting tidak bisa dijalani pada pasien-pasien tertentu. Pasien-pasien yang memiliki kebutuhan untuk mengonsumsi makanan secara teratur, seperti pasien diabetes tipe I, pasien hamil dan menyusui, populasi lanjut usia yang terkait dengan pengobatan rutin yang membutuhkan konsumsi makanan sebelum konsumsi obat tidak dapat menjadikan intermittent fasting sebagai pola diet (Ganesan K, Habboush Y, Sultan S, 2018 dalam Amily, A, 2020).



Intermittent fasting terbukti dalam menurunkan berat badan dan memiliki dampak baik terhadap metabolisme tubuh. Hal ini terkait dengan pola diet intermittent fasting yang dapat disesuaikan dengan irama sirkadian, microbiota gastrointestinal, dan asupan kalori sehingga dapat menjaga berat badan dalam jangka panjang. Intermittent fasting terbukti memiliki dapat menurunkan berat badan. Hal ini berhubungan dengan penurunan risiko obesitas, kejadian kardiovaskular, maupun diabetes. Penelitian pada manusia dan hewan menunjukan IF dapat menurunkan risiko tersebut dengan cara menurunkan kadar adiponektin sehingga memiliki efek kardioproteksi, meningkatkan sensitivitas insulin, dan menurunkan massa lemak, termasuk didalamnya kadar kolesterol dan trigliserida (Ganesan K, Habboush Y, Sultan S, 2018 dalam Amily, A, 2020).



Perubahan pola makan yang diakui adalah puasa alternatif (ADF) yang mencakup makan 20% dari energi kebutuhan pada hari puasa dan kemudian mengkonsumsi makanan sesuai selera (ad libitum) pada hari-hari makan yang dianggap sangat efektif untuk menurunkan berat badan. Sebuah uji coba terkontrol secara acak oleh Varady et al, mengevaluasi peran ADF untuk menurunkan berat badan pada individu yang kelebihan berat badan dan berat badan normal. Subjek memiliki hari makan yang diselingi dengan hari puasa dengan asupan energi 25% dari total asupan. Kelompok puasa alternatif mengalami penurunan massa lemak (P < 0,001) sebesar 3,6 ± 0,7 kg, protein C-reaktif (13 ± 17%, P < 0,05), leptin dan triasilgliserol (TG) konsentrasi(20 ± 8%, P < 0,05), peningkatan ukuran partikel lipoprotein densitas rendah (LDL) (4 ± 1, P < 0,01) dan adiponektin plasma (6 ± 10%, P < 0,01) sedangkan leptin menurun (40 ± 7%, P < 0,05) saat dibandingkan dengan kelompok kontrol. Namun, tidak ada perubahan low-density lipoprotein, high-density lipoprotein, dan homosistein pada akhir masa penelitian. Kasus dan kontrol tidak memiliki masalah dalam mengikuti diet studi selama 12 minggu dilaporkan Hiperfagia yang pada hari pemberian pakan pada gilirannya menyebabkan pembatasan energi yang lebih tinggi secara keseluruhan selama periode penelitian yang merupakan penyebab utama penurunan berat badan. Kepuasan diet dan rasa kenyang meningkat pada akhir 12 minggu yang mungkin berperan dalam kepatuhan diet dalam jangka panjang. Beberapa keterbatasan penelitian ini adalah jumlah subjek penelitian yang rendah (15 pasien di setiap kelompok), tidak ada pengukuran aktivitas fisik, kemungkinan asupan makanan yang kurang dilaporkan karena laporan diambil melalui catatan makanan.



Tinjauan sistematis dari empat studi tersebut menemukan bahwa puasa intermiten efektif untuk penurunan berat badan jangka pendek di antara orang-orang dengan berat badan normal, kelebihan berat badan dan obesitas. Uji coba terkontrol secara acak dengan periode tindak lanjut jangka panjang diperlukan untuk mengikuti kepatuhan terhadap diet dan pemeliharaan jangka panjang penurunan berat badan tanpa mendapatkan kembali berat badan yang hilang. Studi masa depan juga harus mencakup subkelompok tertentu dari populasi seperti individu dengan faktor risiko kardiovaskular dan diabetes mellitus tipe 2 karena populasi pasien ini lebih diuntungkan dari penurunan berat badan yang dapat mengubah proses penyakit. Singkatnya, obesitas dan kelebihan berat badan adalah krisis kesehatan internasional, dan intervensi seperti ADF diperlukan untuk membantu orang mencapai penurunan berat badan (Ganesan K, Habboush Y, Sultan S, 2018).



Studi menguji apakah mengubah durasi makan harian dengan memungkinkan peserta untuk makan asupan kalori harian mereka dalam periode 10-11 jam yang dipilih sendiri akan memberikan manfaat kesehatan bagi individu yang kelebihan berat badan. Delapan peserta yang kelebihan berat badan makan seluruh asupan kalori harian dalam jendela 10-11 jam yang dipilih sendiri. Setengah dari mereka, jendela makan berakhir pukul 8 malam sehingga mereka bisa makan malam bersama keluarga. Namun, tidak seperti tikus yang mengonsumsi jumlah kalori yang sama ketika TRF 8-15 jam diberlakukan, mengurangi durasi makan pada manusia juga mengurangi asupan kalori harian hingga 20% (beberapa di antaranya diakibatkan pengurangan alkohol larut malam dan makanan ringan). Mereka kehilangan hingga 4% berat badan dalam 16 minggu dan mempertahankan penurunan berat badan ini hingga 1 tahun. Mereka juga melaporkan peningkatkan kualitas tidur di malam hari dan peningkatkan kewaspadaan di siang hari. Percobaan ADF selama 3 hingga 12 minggu tampaknya efektif dalam mengurangi berat badan (3% - 7%), lemak tubuh (3 - 5,5kg), kolesterol total (10% - 21%), dan trigliserida (14% - 42%) pada manusia dengan berat badan normal, kelebihan berat badan, dan obesitas. Selain ADF terdapat puasa intermiten hanya melibatkan 1 hingga 2 hari per minggu baik pantang makanan lengkap atau pembatasan kalori yang parah alih-alih bergantian antara asupan makanan yang lebih tinggi dan lebih rendah setiap hari (Labibah, Z, Angraini, DI, 2019).



Diet puasa intermiten adalah diet dengan bentuk pembatasan waktu dan kalori dalam makanan yang berfungsi untuk menurunkan berat badan. Ada tiga metode dalam diet puasa intermiten yaitu pertama, Time restricted feeding atau berpuasa selama 16 jam dan makan selama 8 jam. Kedua, Alternate-day fasting atau puasa berganti hari. Ketiga, Modified fasting atau puasa 5:2, yaitu 5 hari tidak puasa dan 2 hari puasa (Ayudia, EI, Agustina, A, Harahap, H, 2020). Puasa intermitten dilakukan dengan mengurangi frekuensi makan sehingga asupan kalori harian rendah. Beberapa modifikasi puasa intermitten yang populer adalah Alternate Day Fasting (ADF), Modified Fasting Regimens, dan Time-Restricted Feeding. Alternate Day Fasting merupakan hari puasa dengan cara konsumsi makanan atau minuman yang tidak mengandung energi secara bergantian dengan beberapa hari mengonsumsi makanan atau minuman yang sesuai selera (ad libitum). Modified Fasting Regimens merupakan modifikasi puasa dengan mengonsumsi 20-25% dari kebutuhan total energi satu hari dengan jadwal yang reguler. Diet ini lebih populer dengan istilah diet 5:2, yang berarti 5 hari konsumsi makanan seperti biasa dan 2 hari pembatasan konsumsi energi dalam seminggu. Hari pembatasan konsumsi energi tidak dilakukan secara berturut-turut. Time-Restricted Feeding merupakan puasa dengan interval puasa harian ≥ 11 jam. Ketiga metode puasa intermiten diatas dinilai memiliki manfaat terhadap kesehatan. Puasa intermiten dihipotesiskan mempengaruhi regulasi metabolik melalui irama sirkadian (Labibah, Z, Angraini, DI, 2019).



Perhatian khusus selama puasa jangka pendek adalah protein tubuh bisa hilang. Padahal sudah diketahui manusia beradaptasi dengan kelaparan yang berkepanjangan dengan peningkatan proteolisis telah terlihat selama puasa jangka pendek. Peningkatan asam amino dari otot secara konsisten terlihat, tetapi sebagian besar studi membuat perbandingan antara puasa semalam dan periode 60 jam kemudian. Karena durasi puasa puasa intermiten yang populer kurang dari 60 jam. Suatu studi menunjukkan bahwa nitrogen urea, yang mencerminkan proteolisis otot, tidak meningkat pada 36 jam puasa, tetapi meningkat 60 jam. Studi lain menemukan bahwa ADF jangka pendek (bergantian antara 20 jam puasadan 28 jam makan) tidak mengubah metabolisme protein seluruh tubuh pada pria sehat. Literatur puasa awalmenunjukkan bahwa katabolisme protein tidak mulai meningkat sampai hari ketiga puasa, dan bahwa energi yang digunakan oleh tubuh selama 2 sampai 3 hari pertama puasa sebagian besar berasal dari metabolisme pemecahan glikogen dan lemak.



Individu yang mengikuti program puasa intermiten kemungkinan akan mengalami berbagai tingkat pembatasan energi, tergantung pada implementasi individual dari program tersebut. Ada risiko kesehatan dari diet yang membatasi energi terlalu parah, seperti semistarvasi (kelaparan) dan diet yang sangat rendah kalori. Periode semistarvasi dapat menyebabkan respons hiperfagik (makan berlebihan) dan peningkatan massa lemak di luar level awal. Masalah keamanan terkait dengan diet sangat rendah kalori (<800 kkal/hari) dan peningkatan risiko defisiensi zat gizi dan kelainan elektrolit, serta diet tanpa pengawasan medis dapat menyebabkan risiko yang bahkan lebih parah. Diet sangat rendah kalori tidak menghasilkan penurunan berat badan jangka panjang yang lebih besar daripada diet dengan pembatasan yang tidak terlalu parah. Diet kalori yang sangat rendah berpotensi menyebabkan asupan protein suboptimal sehingga terjadi defisiensi protein, tergantung pada komposisi makronutrien dari makanan. Selain itu, pengurangan asupan energi dapat memicu berbagai adaptasi biologis yang dapat meningkatkan berat badan setelah penurunan berat badan, dan kebanyakan orang tidak mempertahankan penurunan berat badan setelah berdiet.



Penjelasan yang mungkin untuk kurangnya keberhasilan ini adalah bahwa hewan dan manusia telah mengembangkan mekanisme untuk bertahan melawan penurunan berat badan karena kelaparan. Pembatasan energi diketahui mengubah ekspresi neuropeptida tertentu, terutama di hipotalamus. Perubahan-perubahan ini merangsang nafsu makan dan mengurangi laju metabolisme dan pengeluaran energi, yang mengarah ke penurunan berat badan yang sering diamati selama diet. Selain itu, penelitian pada tikus menunjukkan bahwa stres akibat pembatasan energi dapat menghasilkan perubahan jangka panjang dalam neurocircuitry stres, yang mengarah ke pesta makan di kemudian hari, meskipun hal ini belum ditetapkan pada manusia lain menunjukkan bahwa puasa selama 48 jam meningkatkan kadar kortisol pada wanita muda yang sehat, sedangkan penelitian lainnya telah melaporkan bahwa membatasi asupan energi hingga 1200 kkal per hari selama 3 minggu juga meningkatkan kadar hormon stress ini pada wanita sehingga merangsang nafsu makan dan penambahan berat badan melalui peningkatan kortisol (Labibah, Z, Angraini, DI, 2019).



Pada hasil terlihat bahwa perubahan berat tubuh pada kelompok intervensi puasa terdapat perbedaan yang signifikan pada rerata sebelum dan sesudah, tetapi tidak demikian untuk kelompok kontrol. Rerata berat tubuh pada kelompok kontrol mengalami penurunan, tetapi hal ini karena kebetulan bukan sesuatu yang disengaja. Sehingga untuk uji antar kelompok tidak ada perbedaaan karena baik kelompok kontrol maupun intervensi sama-sama turun. Menurut Varady dan teman-teman puasa berselang dapat menurunkan berat tubuh dalam kurun waktu tertentu. Pada saat puasa terjadi perubahan pola makan menjadi dua kali dan penurunan asupan makanan antara sebelum berpuasa dan setelah melakukan puasa. Secara teori penurunan asupan makan tersebut dapat menurunkan berat tubuh karena kebutuhan energi di dalam tubuh tidak terpenuhi dari luar sehingga tubuh akan membakar cadangan energi berupa lemak. Lemak sebagai bagian komposisi tubuh yang terbakar terus menerus akan berpengaruh terhadap penurunan berat tubuh. Selain itu, beberapa responden melakukan olahraga rutin setiap minggu seperti yoga dan treadmill pada 1 atau 2 hari tidak berpuasa (Nabawiyah, H, Probosuseno, Rahmawati, NT, 2019).



Hingga saat ini belum adanya penelitian yang membuktikan pola diet yang lebih superior antara satu dengan yang lainnya. Pola diet intermittent fasting dengan pola diet continuous energy restriction terbukti dalam menurunkan berat badan, namun pemilihan pola diet ini dapat disesuaikan dengan kondisi klinis pasien, seperti riwayat penyakit dan pengobatan sebelumnya.



Metode diet intermittent fasting bisa membuat seseorang kelaparan yang juga berdampak pada penurunan performa aktivitas, sulit konsentrasi, dan sakit kepala. Umumnya, metode diet puasa tidak menimbulkan efek samping pada orang sehat. Tetapi untuk sebagian orang, terutama mereka yang memiliki gangguan makan, diabetes tipe 1, ibu hamil dan menyusui, menjalani pengobatan tertentu, sebaiknya tidak melakukan diet puasa ini (Daariy, A, 2020).






DAFTAR PUSTAKA


Amily, A, 2020. Efek Metabolik Pada Pola Diet Intermittent Fasting.

Anton, S., Moehl, K., Donahoo, W., Marosi, K., Lee, S., Mainous III, A., Leeuwenburgh, C., & Mattson, M. (2018). Flipping the Metabolic Switch: Understanding and Applying Health. Obesity, 26(2), 254–268. https://doi.org/10.1002/oby.22065.Flipping

Ayudia, EI, Agustina, A, Harahap, H, 2020. Pengaruh Diet Puasa Intermiten Terhadap Kadar Trigliserida Pada Tikus Putih Sprague Dawley. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi.

Daariy, A, 2020. Intermittent Fasting.

Ganesan K, Habboush Y, Sultan S, 2018. Intermittent Fasting: The Choice for a Healthier Lifestyle. Cureus 10(7): e2947. DOI 10.7759/cureus.2947

Iga, A, M. Cahyono, T, W. Cendani, L. dkk. 2014. Metabolisme Karbohidrat Pada Keadaan Puasa. Akademi Analis Kesehatan Nasional Surakarta.

Labibah, Z, Angraini, DI, 2019. Diet Detox – Apakah Sudah Terbukti Secara Klinis?. Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung

Longo, V. D., & Mattson, M. P. (2014). List of associated country members to the International Padel Federation. National Institutes of Health, 19(2), 181–192. https://doi.org/10.1016/j.cmet.2013.12.008.Fasting

Mattson, M. P., Longo, V. D., Harvie, M., States, U., States, U., Angeles, L., States, U., Cancer, B., Centre, P., & Kingdom, U. (2018). Impact of Intermittent Fasting. 46–58. https://doi.org/10.1016/j.arr.2016.10.005.Impact

Nabawiyah, H, Probosuseno, Rahmawati, NT, 2019. Pengaruh Puasa Dua Kali Seminggu Terhadap Berat Tubuh dan Persen Massa Lemak Dengan Pemantauan Melalui Whatsapp di Yogyakarta. Journal of The Indonesian Nutrition Association

Patterson RE, Sears D. Metabolic Effects of Intermittent Fasting. Annual Review of Nutrition. 2017; 37: 371-93.

Syafruddin. 2008. Perbedaan Berpuasa dan Tidak Berpuasa Terhadap Hasil Belajar pada Mata Kuliah Bedah Mulut. Fakultas Kedokteran Gigi. Universitas Jember



Tidak ada komentar

Ruang Gizi - Gizisme. Diberdayakan oleh Blogger.