Ragam Perasaan Kita Soal Makanan di Tengah Pandemi


Ragam Perasaan Kita Soal Makanan di Tengah Pandemi
M. Sadli Umasangaji




(keterangan: mojok dot co)




Hampir setiap makhluk hidup membutuhkan makanan. Tanpa makanan, makhluk hidup akan susah melakukan aktivitasnya. Hanya saja bentuk makanan dari masing-masing makhluk hidup berbeda-beda. Makanan yang dikonsumsi manusia tentu memiliki ragam manfaat. Sejak zaman dahulu manusia memahami pentingnya makanan sebagai bagian dari pendukung kelangsungan hidup. Walaupun demikian, kondisi itu dimana manusia memiliki pemahaman yang belum sempurna tentang makanan. Makanan cenderung dipandang sebagai kekuatan magis, hal tabu bahkan hingga hal-hal yang memberikan kesembuhan. Saat ini asumsi soal makanan telah berkembang. Termasuk manusia telah menempatkan bahwa makanan adalah sumber energi yang dibutuhkan manusia.


Kini di tengah-tengah pandemi, kita saksikan semacam perasaan ngadi-ngadi soal makanan, bahan makanan atau produk makanan dan minuman. Dari isu soal telur, produk makanan tertentu seperti you c-1000 ataupun yang terakhir susu beruang. Dari pembahasan yang serius hingga pembahasan yang satir juga telah banyak diulas. Sebagai seorang yang berkecimpung dengan teori-teori tentang gizi, walaupun lebih suka membaca buku sosial, eh. Penulis merasa perlu membahas hal itu sebagai pemberian informasi sekedar “tambahan” bukan sebagai makanan tambahan.


Makanan dalam kamus gizi diartikan sebagai bahan pangan yang telah mengalami pengolahan atau pemasakan sehingga siap untuk disajikan. Sedangkan bahan makanan adalah semua bahan baik terolah maupun tidak. Dalam buku Ilmu Gizi Dasar (Sunita Almatsier) mendefinisikan makanan adalah bahan selain obat yang mengandung zat-zat gizi dan atau unsur-unsur atau ikatan kimia yang dapat diubah menjadi zat gizi oleh tubuh yang berguna bila dimasukkan ke dalam tubuh.


Secara mendasar makanan sehari-hari yang dipilih dengan baik akan memberikan semua zat gizi yang dibutuhkan untuk fungsi normal tubuh. Fungsi makanan diantaranya adalah pertama, sebagai sumber energi, sebagaimana kita tahu bahwa zat gizi yang memberikan energi adalah karbohidrat, lemak dan protein. Kedua, sebagai pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan tubuh. Zat gizi yang berkaitan dengan ini adalah mineral dan protein. Ketiga, sebagai mengatur proses tubuh, dimana protein, mineral dan vitamin berperan dalam hal ini.


Kalau kita bayangkan kira-kira kelas ekonomi masyarakat manakah yang “termakan” untuk mengonsumsi telur, you c-1000 dan juga susu beruang? Kalau dicermati dua produk itu adalah produk yang sebenarnya akan dikonsumsi oleh kelas menengah ke “hampir” atas. Dengan demikian orang-orang yang tergolong dalam kelas ini adalah orang-orang yang kemungkinan memiliki sumber informasi yang memadai minimal mengakses informasi via handphone melalui googling, atau orang-orang yang berada di kelas ini adalah sebagian orang dengan tingkat pendidikan yang bisa dikategorikan baik.


Sudah tentu informasi-informasi mengenai makanan yang sebaiknya dikonsumsi bukan terbatas kepada satu bahan makanan, satu produk makanan tertentu adalah informasi yang lumrah diketahui. Bahkan kesadaran bahwa makanan tertentu, minuman tertentu, atau produk makanan tertentu secara mutlak menyembuhkan suatu penyakit adalah keliru merupakan informasi yang juga lumrah diketahui oleh orang-orang dari kelas menengah ke “hampir” atas ini.

Jadi apa yang membuat orang-orang menjadi begitu bergiat dalam mengonsumsi makanan atau produk makanan berdasarkan isu yang tersebar?

Pertama, masyarakat kita tergolong dalam ikut-ikutan dengan tren. Ya, di era informasi serba instan ini kita bisa jadi mengetahui informasi yang tepat dengan lumrah tapi perasaan mengikuti tren atau perasaan coba-coba adalah perasaan dominan yang terbentuk atau tergugah. Seperti biasanya orang-orang kita memang doyan berbelanja sesuatu kalau sudah mau terbatas, sudah naik harga. Padahal kata Hits, yang mahal belum tentu berkualitas. Lanjutnya yang lebih mahal banyak. Bahkan perasaan ikut-ikutan untuk tidak makan karbo sebagai diet juga banyak, eh. Padahal sebagai sayuran juga memiliki zat gizi karbohidrat. Atau mungkin maksudnya adalah bahan makanan nasi dan sejenis sebagai sumber utama karbohidrat.

Kedua, masyarakat kita suka dengan sugesti. Ya, sugesti menjadi hal yang mempengaruhi hal ini. Budaya kita memang selalu merasa perlu mengikuti pola dominan ke pola yang lain. Merasa bahwa apa yang dilakukan sebagai hal yang bisa diterapkan pula. Atau semacam kebiasaan kita yang bila datang ke fasilitas kesehatan tidak akan merasa “berobat” bila tidak diberikan obat. Atau kadang diberikan plasebo sebagai istilah pemberian obat kosong sebagai rasa percaya bahwa mereka meminum obat asli dan mengalami perbaikan kondisi.

Ketiga, era kini adalah era influencer. Dimana semua informasi serba instan dan semua orang bisa menerima begitu banyak informasi dengan akses yang cepat sekaligus “merasa” dapat memberikan informasi kepada siapa saja. Oleh sebab itu, penyampaian informasi dengan sederhana, mungkin terkadang jauh lebih efektif.

Keempat, kita mungkin perlu kembali pada prinsip yang penting makan, yang penting bahagia. Anggap saja ini prinsip agak “nyeleneh” memang. Tapi perasaan bahagia di tengah-tengah pandemi adalah perasaan yang harus terus dijaga. Sedangkan yang penting makan adalah bentuk ekspresi bebas terhadap makanan. Ketimbang “memaksakan” orang untuk membeli susu beruang atau you c-1000, makan mie rebus dengan telur diberikan sayur ditambah tahu plus sebelumnya makan jeruk manis jauh di cuaca yang mendung begini lebih mendekati isi piringku ketimbang hanya sekedar minum susu beruang.

Pada akhirnya susu beruang, telur, you c-1000 merupakan tren sekaligus sugesti. Walaupun demikian makanan atau produk makanan ini tentu punya manfaat tapi yang paling utama adalah hanya pendukung dari konsumsi makanan secara teratur. Karena yang paling mendasar adalah mengonsumsi makanan bergizi seimbang merupakan bagian dari menjaga sistem imun tubuh.

Tidak ada komentar

Ruang Gizi - Gizisme. Diberdayakan oleh Blogger.