Konstruksi Sosial dalam Masalah Gizi



Konstruksi Sosial dalam Masalah Gizi
M. Sadli Umasangaji
(Founder Ruang Gizi)








Tunjukan kesatuanmu dalam membela rakyatmu,
Tunjukan rendah hatimu dihadapan rakyatmu
(Mars Gizi)



Gizi merupakan salah satu faktor penentu kualitas sumber daya manusia yang berkualitas, sehat, cerdas, dan produktif. Untuk itu program perbaikan gizi bertujuan untuk meningkatkan mutu gizi konsumsi pangan, agar terjadi perbaikan status gizi masyarakat. Gizi merupakan salah satu input penting untuk menentukan kualitas sumber daya manusia. Salah satu indikator kesehatan adalah status gizi balita. Status gizi balita diukur berdasarkan umur (U), berat badan (BB) dan tinggi badan (TB). Variabel BB dan TB ini disajikan dalam bentuk tiga indikator antropometri, yaitu berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB).

Masalah gizi pada hakikatnya adalah masalah kesehatan masyarakat namun penanggulangan tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan kesehatan saja. Penyebab timbulnya masalah gizi adalah multifaktor, oleh karena itu pendekatan penanggulangannya harus melibatkan berbagai sektor yang terikat. Masalah gizi, meskipun sering berkaitan dengan masalah kekurangan pangan, pemecahannya tidak selalu berupa peningkatan produksi dan pengadaan pangan. Pada kasus tertentu seperti dalam keadaan kritis (bencana kekeringan, permasalahan sosial, dan krisis ekonomi), masalah gizi muncul akibat masalah ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, yaitu kemampuan rumah tangga memperoleh makanan untuk semua anggotanya. Menyadari hal itu, peningkatan status gizi masyarakat memerlukan kebijakan yang menjamin setiap anggota masyarakat untuk memperoleh makanan yang cukup jumlah dan mutunya. Dalam konteks itu, masalah gizi tidak lagi semata-mata masalah kesehatan tetapi juga masalah kemiskinan, pemerataan, dan masalah kesempatan kerja. (Supariasa, 2002).

Hasil Pemantauan Status Gizi di tahun 2017 menunjukkan berdasarkan Berat Badan Menurut Umur, balita 0-59 Bulan terdapat Gizi Kurang sebanyak 14% dan Gizi Sangat Kurang sebanyak 3.8%. Tinggi atau Panjang Badan Menurut Umur, pada balita terdapat Gizi Pendek sebanyak 19.8% dan Gizi Sangat Pendek sebanyak 9.8%. Sementara data Berat Badan Menurut Panjang atau Tinggi Badan balita 0-59 Bulan menunjukkan Gizi Kurus sebanyak 6.7% dan Gizi Sangat Kurus sebanyak 2.8%. (Kemenkes. 2018).


Memandang Konstruksi Sosial

Konstruksi Sosial atas realitas diartikan sebagai proses sosial melalui tindakan dan interaksi dimana individu atau sekelompok individu, menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif. Teori ini berakar pada paradigma konstruktivis yang melihat realitas sosial sebagai konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu, yang merupakan manusia bebas.Individu menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan kehendaknya, yang dalam banyak hal memiliki kebebasan untuk bertindak di luar batas kontrol struktur dan pranata sosialnya. Dalam proses sosial, manusia dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas di dalam dunia sosialnya.Konstruksi sosial merupakan teori sosiologi kontemporer, dicetuskan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann.

Secara teori konsep dasar timbulnya penyakit, pertama, konsep jaring-jaring sebab akibat, ada faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya masalah gizi (Supariasa, dkk, 2002) skema kerangka pikirnya menunjukkan terdiri atas beberapa penyebab; penyebab langsung, penyebab tidak langsung, pokok masalah, dan akar masalah.Penyebab langsung terdiri atas asupan makanan dan penyakit infeksi. Penyebab tidak langsung terdiri dari ketersediaan dan pola konsumsi rumah tangga, pola asuh serta sanitasi lingkungan dan pelayanan kesehatan. Pokok masalah yang mempengaruhi terdiri dari daya beli, akses pangan, akses informasi, akses pelayanan, kemiskinan, ketahanan pangan, pendidikan, pengetahuan dan keterampilan. Akar masalah yang mempengaruhi terdiri dari ekonomi, politik, sosial dan budaya.Kedua, konsep Roda yang memandang bahwa memerlukan identifikasi berbagai faktor yang berperan dalam timbulnya penyakit dengan tidak menekankan pentingnya agen. Disini menjadi penting hubungan antara manusia dan lingkungan hidupnya.

Dari dua konsep diatas, harusnya ada konstruksi sosial sebuah masalah gizi yang dipengaruhi oleh realitas kelas sosial. Kelas (Ridha, 2016), sebagaimana kita ketahui, ada sebagai posisi kolektif yang ditempati individu dalam konteks sosio-ekonomi tertentu. Karena konteks ini, kelas sosial memiliki stratifikasi dimana terdapat golongan yang memiliki banyak atau berlimpah sumber daya ekonomi serta golongan yang memiliki tidak banyak atau sedikit sumber daya ekonomi. Hal lain yang perlu diperhatikan dari stratifikasi ini adalah posisi kelas-kelas sosial tidak berdiri terpisah antara satu dengan yang lain. Dengan kata lain, suatu posisi kelas hanya dapat dijelaskan dalam kaitannya dengan posisi kelas yang lain. Kelas bawah hanya dapat dikatakan bawah karena ada kelas atas, dan begitu juga sebaliknya. Disinilah kelas muncul sebagai suatu kategori yang relasional. Dalam konteks sosio-ekonomi kapitalistik, tendensi umum dalam relasi yang menciptakan stratifikasi kelas sosial tentu saja adalah relasi produksi yang tidak terdamaikan antara kapital dengan kerja.

Dengan ini, maka kelas sosial dalam masalah gizi, utamanya masalah gizi buruk dalam kasus dapat terbagi beberapa kelas, pertama, penderita gizi buruk yang tidak memiliki relasi kelas (penderita gizi buruk dengan kondisi ekonomi kelas terbawah), proletariat gizi, kedua, penderita gizi buruk dengan kondisional internal atau terjadi karena penyebab langsung secara murni, dimana asupan makanan kurang terkait dengan nafsu makan dan kondisi anak terhadap makanan, ketiga, penderita gizi buruk dengan kondisi ekonomi mapan tetapi pola asuh yang kurang baik, keempat, penderita gizi buruk karena eksplanasi dari bagian metabolisme tubuh anak atau bisa terjadi karena hipermetabolisme.


Menempatkan Relasi Kelas Sosial

Dalam tataran sosial, kesehatan dan penyakit bukan hanya karena secara instrinsik menarik, dan merupakan isu sentral dari keberadaan manusia, yakni, sakit, penderitaan dan meninggal, melainkan juga karena kajian tersebut membantu kita memahami bagaimana masyarakat bekerja. Pengalaman sakit dan penyakit adalah akibat dari pengorganisasian masyarakat. Sebagai gambaran White (2012) menyebutkan kondisi kehidupan dan pekerjaan yang buruk menyebabkan orang sakit dan orang miskin akan mati lebih cepat, daripada orang-orang yang berada di puncak sistem sosial. Bahkan kendati ada perbaikan kondisi kehidupan dan praktik medis, tetapi ketidaksetaraan berbasis kelas, gender, dan etnisitas tidak ditanggulangi, jurang perbedaan antara si kaya dan si miskin tetap lestari. Penyakit dan ketidaksetaraan memiliki hubungan yang berkelindan. Akibat ketidaksetaraan distribusi sumber daya politik, ekonomi, dan sosial yang dibutuhkan untuk hidup sehat adalah unsur sosial dari kesehatan.

Kevin White (2012) menempatkan bahwa pilihan gaya hidup individu dibentuk secara sosial, dan bahwa fokus pada pilihan-pilihan gaya hidup ini sebagai eksplanasi tentang penyebab penyakit akan meniadakan faktor-faktor sosial yang terlibat dalam produksi tindakan-tindakan individual. Melainkan, bahwa ada suatu rentang yang luas yang menjembatani faktor-faktor sosial yang menjadi perantara yang mengintervensi biologi penyakit, gaya hidup individu, dan pengalaman sosial yang membentuk dan memproduksi penyakit. White kemudian melanjutkan ringkasnya pada masa kini dampak ketidaksetaraan tingkat penghasilan tampaknya sentral bagi melestarikan eksistensi ketidaksetaraan dalam kesehatan.


Menempatkan Identitas Kelas

Dalam teori sosial (White, 2012), bahwa pemahaman kita tentang produksi sosial penyakit dibagi dalam beberapa eksplanasi, pertama, eksplanasi genetik. Eksplanasi genetik menempatkan bahwa kejadian alamiah sakit terjadi karena faktor biologi dan genetik. Eksplanasi genetik ini telah secara sistematik mengabaikan atau setidaknya menyudahi eksplanasi sosial dan fungsi-fungsi untuk mengalihkan kerangka kritis kita dari cara-cara dimana kehidupan sosial membentuk pengalaman kita tentang penyakit. Kedua, dengan asumsi bahwa pengalaman sakit menyebabkan mobilitas sosial mengalami kemunduran, dan sebaliknya pengalaman sehat meningkatkan mobilitas sosial. Ini adalah perluasan dari apa yang disebut argument Darwin mengenai survival of the fittest. Dengan asumsi (kasar) bahwa yang paling menderita sakit tentu saja adalah yang termiskin dalam masyarakat, mereka sakit karena miskin, bukan sebaliknya mereka miskin karena sakit. Ketika kondisi sakit dan merosotnya mobilitas sosial saling berpotongan, inilah kondisi dimana praktik-praktik politik, kultural dan sosial sudah mendiskriminasi individu.

Ketiga, mengenai eksistensi penyakit adalah bahwa manusia mengadopsi suatu gaya hidup yang membuat mereka sakit, dan oleh karena itu secara individual bertanggung jawab atas kondisi yang mereka hadapi. Eksplanasi gaya hidup itu mengklaim bahwa pilihan buruk yang ditentukan secara bebas, misalnya dalam hal makanan, merokok, dan berolahraga membuat orang sakit.

Semua kajian utama, yang disajikan bersama-sama ini, menunjukkan bahwa pilihan gaya hidup yang baik akan dipengaruhi oleh variable-variabel struktural yang lebih luas dalam menentukan sehat dan sakit. Perilaku gaya hidup tidak lebih dari suatu bagian kecil variasi dalam status kesehatan. Meski menentukan karena perilaku gaya hidup itu secara struktural tidak merata dibandingkan pilihan individual, maka perilaku itu lebih merupakan akibat dari ketidaksetaraan daripada penyebab. Dengan pendapat sosiologi kesehatan, ketiga eksplanasi itu mengandung dua kesamaan. Ketiganya mengklaim bahwa jika seseorang jatuh sakit, maka kondisi sakit itu adalah masalah tubuh orang itu sendiri dan keunikan biologi mereka. Dengan kata lain, eksplanasi ini mengindividualisasi dan membiologisasi eksplanasi mengenai penyakit. Kerapkali eksplanasi ini dikombinasikan ke dalam eksplanasi yang menyalahkan individu atas pilihan gaya hidup secara biologis tak mampu diatasi, karena ketetapan genetik yang dimilikinya. Padahal pada asumsi lain, memusatkan bahwa gaya hidup atau kejadian sakit terjadi sebagai bentukan politik dan ekonomi yang mensubordinasikan penduduk tertentu.

Dengan kata lain, menempatkan identitas kelas dalam masalah gizi menjadi langkah awalan dalam penyelesaian masalah gizi. Sebagaimana ungkapan Khomsan (2012) rakyat Indonesia tidak mengalami kelaparan kronis sebagaimana menimpa rakyat di benua Afrika. Namun, kita menderita kelaparan tersembunyi yang menyebabkan persoalan kurang gizi tak kunjung dapat diatasi.

Pendekatan Marxis dalam hal ini diuraikan bahwa dalam tradisi materalis dan Marxis memproduksi salah satu pendekatan sosiologis yang paling kuat dalam hal produksi penyakit dan pola sosial distribusinya. Pendekatan ini menekankan pentingnya peranan kepentingan ekonomi baik dalam memproduksi penyakit maupun dalam hal membentuk cara menghadapi penyakit itu. Dan disatu posisi yang lain, kelompok Marxis menempatkan bahwa kedokteran (terliputi kesehatan) termasuk dalam fungsi kunci dari masyarakat kapitalis.


Menyandarkan Social Worker Sebagai Kesadaran Kelas

Profesi-profesi kesehatan sebenarnya telah termasuk dalam mereproduksi struktur kelas. Dengan kata lain dalam profesi kesehatan turut serta menempatkan klasifikasi pekerjaan sebagai kelas sosial dalam pekerjaan. Bahwa kelas dan kesehatan terkait faktor-faktor struktural seperti cara produksi diorganisasi dan distribusi pekerjaan dalam masyarakat. Kelas dalam pekerja-pekerja kesehatan ini telah terdistorsi dalam sebuah nilai kelas dalam pekerjaan.

Mengembalikan kesadaran kelas pada pekerja-pekerja kesehatan seharusnya dimulai dari menyandarkan bahwa segalanya yang ada pada dirinya adalah social worker. Dengan demikian dasar yang paling awal adalah menempatkan kembali dengan keras praktik-praktik pekerjaan yang berkecenderungan pada perilaku kapitalis. Mengurai dengan pelan-pelan bahwa praktik kapitalistik harus hilang dengan pelan-pelan karena kesadaran kelas.

Pelaksanaan kebijakan sosial yang akan melindungi kohesi sosial oleh Lomas (dalam White, 2012) menyebutkan bahwa pelestarian dan pemajuan struktur-struktur sosial dan semua unsur dalam suatu komunitas yang memungkinkan pertukaran pandangan, nilai-nilai dan mendorong bagi kepercayaan bersama. Dengan asumsi lain, perubahan fisik dan struktur sosial komunitas untuk menciptakan modal sosial. Modal sosial harus tumbuh sebagai relasi kesadaran kelas.Relasi kesadaran kelas ini harusnya menempatkan penderita gizi buruk yang tidak memiliki relasi kelas sebagai masalah utama dalam masalah gizi.

Dalam hal ini relasi kesadaran kelas ini harus tumbuh sebagai pengentasan masalah gizi, pertama, menyadari karakteristik paling fundamental dari sosialisme bahwa komitmennya terhadap penciptaan masyarakat yang egalitarian. Kita menyadari bahwa kita tidak tahu sampai seberapa jauh ketimpangan itu akan bisa dilenyapkan atau dengan cara-cara apa perubahan itu bisa diwujudkan, namun tak ada penganut sosialis yang mendukung ketimpangan dalam kemakmuran dan kekuasaan. Kedua, kemungkinan untuk menciptakan perubahan-perubahan yang signifikan melalui perantara manusia yang sadar. Tetapi, beberapa penafsir Marxis lebih menekankan determinasi ekonomi dengan sedemikian kuatnya sehingga keyakinan akan peranan manusia dalam menciptakan perubahan kadangkala tak muda untuk kita temui. Akan tetapi sikap kepasrahan yang pasif adalah hal yang asing bagi kaum sosialis. (Newman, 2006).

Relevansi kesadaran kelas ini bagi petugas kesehatan sebagaimana asumsi Gramsci, “Semua manusia mempunyai potensi untuk menjadi kaum intelektual, sesuai dengan kecerdasan yang dimiliki, dan dalam cara menggunakannya. Tetapi tidak semua orang adalah intelektual dalam fungsi sosial”. Atau Peran Intelektual dalam pandangan Edward W Said.Said menempatkan bahwa seorang intelektual haruslah mereka yang terlibat langsung dalam soal-soal kemasyarakatan.

Dengan demikian, proletariat gizi menempatkan bahwa dimulai dari kesadaran kelas dimana penempatan pertama dalam masalah gizi adalah kepastian dalam mendapatkan kebutuhan dasar terlebih dahulu sebelum orang membincang tentang doktrinasi pengetahuan gizi. Proletariat gizi juga menempatkan bahwa para ahli gizi di tingkat lapangan memang perlu memiliki kesadaran sosial. Kesadaran sosial sebagai bentuk kepedulian sosial dengan alasan bahwa kelompok rawan yang sering menderita masalah gizi adalah kelompok masyarakat yang identitas kelasnya termasuk dalam kelompok masyarakat kurang mampu secara ekonomi. Sikap ini untuk menjauhkan para ahli gizi (atau pekerja kesehatan) atas orientasi yang kadang terlihat secara umum tentang kemewahan, gaya hidup yang penuh dengan keborjuisan. Kesadaran sosial ini juga mengurangi sikap arogan terhadap kelompok menengah ke bawah, elitis pada tempat yang salah dan berlebihan, terlebih-lebih sikap acuh tak acuh yang mendera.

Kesadaran sosial itu akhirnya bertumpu pada sebagaimana dikemukakan Wilkinson (dalam White, 2012), negara-negara dengan perbedaan kecil antara golongan terkaya dan termiskin adalah yang tersehat.




Referensi:

Kementerian Kesehatan, 2018. Buku Saku Pemantauan Status Gizi Tahun 2017.

Khomsan, Ali, 2012. Ekologi Masalah Gizi, Pangan, dan Kemiskinan. Penerbit Alfabeta.

Newman, Michael, 2006. Sosialisme Abad 21, Jalan Alternatif Atas Neoliberalisme. Penerbit Resist Book.

Ridha, Muhammad, 2016. Memahami Kelas Menengah Indonesia. Harian Media Indoprogress. (Online). https://indoprogress.com/2016/02/memahami-kelas-menengah-indonesia/

Said, Edward W, 2014. Peran Intelektual. Penerbit Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Jakarta.

Supariasa, I Dewa Nyoman, dkk, 2002. Penilaian Status Gizi. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

White, Kevin, 2012. Pengantar Sosiologi Kesehatan dan Penyakit. Penerbit Rajawali Press.

Tidak ada komentar

Ruang Gizi - Gizisme. Diberdayakan oleh Blogger.