Mendewa-dewakan Isu Stunting
Mendewa-dewakan Isu Stunting
M. Sadli Umasangaji,
S.Tr.Gz
(Founder Gizisme)
Isu
stunting awalnya sebenarnya biasa saja sebagaimana isu masalah gizi pada
umumnya atau masalah kesehatan. Ketika stunting menjadi isu strategis maka
perbincangan soal stunting mulai menggeliat dimana-mana dan bahkan semua
profesi pun mulai menjadikannya sebagai bahan diskusi. Terutama juga ketika isu
stunting “dibawahi” oleh instansi lain yang punya korelasi dengan instansi
kesehatan, di tingkat Daerah misalnya selain Dinas Kesehatan. Maka semacam bias
dan perdebatan persepsi antara “petugas gizi” atau ahli gizi cenderung terjadi.
Terutama
ketika ada yang memberikan asumsi bahwa “Tidak semua balita pendek adalah
stunting tapi balita stunting sudah pasti pendek”. Pernyataan ambigu yang
kurang sesuai dengan definisi operasional dalam perspektif gizi. Pertanyaan
lain adakahnya balita wasting yang tidak kurus, adakah balita underweight yang
tidak gizi kurang? Jawabannya tidak ada, ya balita wasting adalah balita kurus
(sekarang sudah berubah menjadi gizi kurang), balita underweight adalah gizi
kurang. Begitu juga stunting definisinya seharusnya hanya diidentifikasi dengan
membandingkan tinggi seorang anak dengan standar tinggi anak pada populasi yang
normal sesuai dengan usia dan jenis kelamin yang sama. Maka stunting hanya soal
tinggi badan atau panjang badan menurut umur yang berada di bawah -2 SD. Bahkan
definisi ini termaktub dalam buku tentang Pendek (Stunting) di Indonesia,
Masalah dan Solusinya yang dirilis oleh Balitbangkes (2015). Maka stunting
adalah pendek, tidak ada definisi ambigu diluar itu.
Mendewakan Stunting Melebihi Isu
Masalah Gizi
Ketika
stunting menjadi isu dan didefinisikan secara meluas seakan-akan orang
menempatkan stunting seperti “gizi buruk”, dalam tanda petik. Padahal indikator
stunting tentu berbeda dengan gizi buruk. Dan ketika berada dalam posisi itu, stunting
“didewakan” melebihi dari isu gizi lainnya. Padahal stunting adalah dampak dari
masalah gizi lain. Stunting bisa jadi adalah dampak dari Wasting ataupun
Underweight. Walaupun stunting tentu bisa muncul tanpa kejadian Wasting ataupun
Underweight karena indikator yang berbeda.
Stunting adalah masalah gizi kronik sedangkan
wasting dan underweight cenderung pada masalah gizi akut. Titik tekan yang
terjadi adalah stunting merupakan dampak dari Wasting ataupun Underweight. Hal
inilah yang membuat stunting seakan didewakan. Padahal kejadian stunting yang
menggunakan Kerangka Pikir Penyebab adalah Kerangka Pikir Penyebab Masalah Gizi
secara umum yang bisa sama terjadi pada masalah Wasting dan Underweight. Bahkan
pada hal tertentu masalah gizi akut seperti Wasting atau Underweight cenderung
lebih perlu ditangani ketimbang Stunting. Gizi Buruk dapat menyebabkan
kematian, stunting soal kematian dengan definisi normatif, saya yakin resikonya
kecil. Anak pendek tidak lebih beresiko kematian ketimbang anak Sangat Kurus
(atau Sangat Kurang (BB/TB) ataupun Gizi Buruk (BB/U).
Elaborasi lebih jauh soal Kerangka Penyebab Stunting
dengan faktor determinan misalkan asupan gizi, penyakit infeksi, atau yang
berkaitan dengan program kinerja seperti ASI Eksklusif, IMD, ataupun status
gizi ibunya (ibu hamil), atau ibu hamil KEK, bahkan juga tinggi badan orang
tua. Pertanyaan apa ini hanya penyebab masalah untuk stunting? Atau memang
kerangka penyebab masalah gizi secara umum yang digunakan untuk Wasting dan
Underweight juga. Ibu hamil KEK lebih berkenan kaitannya dengan Wasting akan
tetapi kecenderungan didominasikan sebagai penyebab masalah stunting. Mungkin
kita juga bisa bertanya apa ibu yang pendek tidak melahirkan balita yang kurus.
Maksud dari logika ini adalah isu stunting tidak boleh didewakan melebihi dari
masalah gizi. Petugas gizi dibuat sibuk dengan urusan stunting melebihi dari
pemahamannya soal masalah gizi. Dari survei, dari perbincangan, dari program
semua ditekankan stunting seakan-akan stunting melebihi dari masalah gizi. Padahal
harusnya stunting ditempatkan sebagai bagian dari masalah gizi bukan
mendominasi masalah gizi. Ini mendewa-dewakan yang berlebihan.
Pertanyaan paling mendasarnya adalah apa yang
mendasari stunting menjadi isu strategis? Secara mendasar jawabannya saya ingin
menjawab hanya karena data. Ya, data stunting saat ini tentu lebih tinggi dari
Wasting dan Underweight. Baik berbasis data Global Nutrition ataupun semisal
Riskesdas atau PSG untuk beberapa tahun lalu. Soal datalah yang membuat
stunting menjadi isu, data Global Nutrition (2018), stunting 22.2% dan Wasting
7.5%. Sedangkan data PSG (2018) menunjukkan stunting 29.6% dan wasting 9.5%.
Datalah yang membuat menjadi isu. Harusnya dikembalikan kepada perspektif ini.
Bukan sekedar soal dominasi penyebab atau dampak yang membuat stunting lebih
didewakan dari indikator status gizi lain (Wasting dan Underweight). Karena
kerangka penyebabnya untuk semua masalah status gizi dan programnya untuk
intervensi masalah gizi begitu juga dampaknya.
Semisal beberapa “penyuluhan” dengan titik tekan
bahwa dampak stunting kecenderungan pada anak menjadi kurang “pintar” dan
bahasa sejenisnya. Pertanyaan apakah Wasting dan Underweight tidak memberikan
dampak itu? Selain itu, penyuluhan-penyuluhan dengan konotasi negatif terkait
stunting harusnya disudahi. Dengan maksud misalkan memperbaiki kondisi
pertumbuhan, orang tua ditekan bahwa anak stunting cenderung memiliki
perkembangan kognitif kurang baik. Ini konotasi negatif. Padahal isu stunting
ditempatkan bahwa kita menginginkan kedepan orang-orang Indonesia memiliki
postur fisik yang baik (tinggi sebagaimana orang Eropa) dan produktif. Konotasi
negatif itu tentu membuat ibu-ibu balita menjadi sungkan atau malu kalau
anaknya stunting dan ini tidak baik untuk perkembangan program gizi itu
sendiri. Klaim kondisi seperti itu sudah terjadi pada persepsi Gizi Buruk,
seharusnya isu stunting tidak dibawa dalam jurang persepsi seperti itu.Toh kita
harus berani mengklaim stunting tidak lebih membahayakan dari gizi buruk, tapi
menyakini stunting adalah dampak. Jadi mengapa klaim membuat jurang persepsi
kepada ibu balita?
Menempatkan Program Intervensi
Kembali Pada Masalah Gizi
Selain itu tentu program intervensi adalah
penanggulangan terhadap masalah dan penyebab masalah. Kalau ditelisik program
intervensi spesifik untuk penanganan stunting berdasarkan data sebenarnya berkaitan
dengan indikator kinerja program gizi. Asumsinya misalkan program kinerja
seperti IMD, ASI Eksklusif, pemberian Vitamin A dan lainnya cenderung stagnan
bahkan semisal program pemantauan pertumbuhan sebagai deteksi dini juga
cenderung stagnan tapi data stunting yang terakhir malah turun. Logikanya
adalah program-program pencegahan yang stagnan harus data stunting normatif
tidak turun. Tapi yang terjadi logikanya terbalik program-program pencegahan
stagnan, data stunting turun.
Saya
jadi teringat ketika diskusi yang dilakukan oleh Persagi Sulsel dan Poltekkes
Kemenkes Makassar, pertanyaan yang sama saya tanyakan waktu itu, pematerinya
(Ibu Lindawati Wibowo) menjawab secara normatif bahwa dengan demikian kondisi
masalah gizi antara stunting dan wasting tidak boleh didominasikan kepada sesuatu.
Dengan demikian sebenarnya program-program pencegahan stunting adalah program
intervensi gizi secara umum yang sudah termaktub dalam Dokumen Scaling Up
Nutrition (SUN), di Indonesia disebut Gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan atau
disingkat Gerakan 1000 HPK. Program-program pencegahan stunting baik spesifik
atau sensitif sebenarnya untuk semua masalah gizi. Dengan demikian mendewakan
stunting secara berlebihan atau menempatkan stunting seperti gizi buruk atau melebihi
dari Wasting dan Underweight diluar dari logika data bisa memberikan persepsi
yang bias terhadap petugas gizi.
Post a Comment