Perlunya Komitmen Pemerintah Pusat dan Daerah dalam Penanggulangan Stunting

 

Perlunya Komitmen Pemerintah Pusat dan Daerah dalam Penanggulangan Stunting

(Fahmil Usman)

Magister Student of Clinical Nutrition, Sebelas Maret University






 

Tantangan terbesar yang dihadapi saat ini adalah bagaimana mewujudkan komitmen seluruh komponen bangsa dalam penurunan stunting. Dengan demikian koordinasi untuk penurunan stunting tidak dilihat hanya dari aspek kesehatan, tetapi juga harus mencakup koordinasi di bidang ekonomi, sosial budaya, dan teknologi industri pangan. Koordinasi pada dasarnya adalah membentuk kesepakatan bersama mulai dari menetapkan tujuan, kebijakan yang diperlukan, perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi dan indikator keberhasilan dan koordinasi lintas sektor (mulai perumusan kebijakan, program, pemantauan dan evaluasi) di Daerah dan di Pusat serta koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah (Persagi, 2018).

Saat ini Indonesia merupakan salah satu negara yang tertinggi stunting yang terdapat di 100 kabupaten/kota. Masalah yang dialami selama ini berkaitan praktek pengasuhan yang kurang baik, termasuk kurangnya pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan. Data menunjukkan bahwa 60% dari anak usia 0-6 bulan tidak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif, dan 2 dari 3 anak usia 0-24 bulan tidak menerima Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) (Riskesdas, 2013), terbatasnya layanan kesehatan termasuk pelayanan ANC-Ante Natal Care (pelayanan  kesehatan untuk ibu selama masa kehamilan) Post Natal Care dan pembelajaran dini yang berkualitas, masih kurangnya akses rumah tangga/keluarga ke makanan bergizi dan Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi (TNP2K, 2017).

Stunting adalah status gizi yang didasarkan pada indeks  PB/U atau TB/U, apabila hasil pengukuran berada pada ambang batas (Z-Score) <-2 SD sampai dengan -3 SD (pendek/ stunted) dan <-3 SD (sangat pendek/ severely stunted (Kemenkes RI, 2017).  Salah satu bentuk stunting yang ditandai dengan indikator tinggi badan menurut umur(Anindita, 2012)  Hal ini berdampak pada gangguan pertumbuhan dan perkembangan di masa kanak-kanak yang memiliki konsekuensi jangka pendek dan jangka panjang yang mempengaruhi kesehatan dan pengembangan modal manusia seperti pertumbuhan fisik yang buruk(WHO, 2018).

Dampak anak-anak yang menderita Stunting  berpengaruh pada kognitif yang rendah, ekonomi rendah saat dewasa, menghambat berpartisipasi dalam komunitas, pertumbuhan yang terhambat bahkan memengaruhi generasi berikutnya (Das et al., 2009)serta berkurangnya kapasitas produktif dan kesehatan yang buruk, dan peningkatan risiko penyakit degeneratif (You et al., 2010), meningkatnya risiko kesakitan, kematian dan hambatan pada pertumbuhan baik  motorik maupun mental yang mencerminkan ketidakmampuan untuk mencapai pertumbuhan optimal(Nailis, 2017)serta psikososial yang buruk(Izzati et al., 2010). Begitupun berdampak menurunkan pertumbuhan ekonomi (Persagi, 2018). Sehingga mengakibatkan hilangnnya 11% GDP (Gross Domestic Products), mengurangi pendapatan pekerja dewasa hingga 20% dan berkontribusi pada melebarnya kesenjangan/inequality sehingga mengurangi 10%  dari total pendapatan seumur hidup dan juga menyebabkan kemiskinan antar generasi(TNP2K, 2017). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Brigitte Sarah Renyoet, Drajat Martianto dan  Dadang Sukanda berkesimpulan bahwa besar potensi kerugian secara nasional pada balita stunting  sekitar Rp 3.057 miliar-Rp 13.758 miliar atau 0,04-0,16% dari total PDB Indonesia (Renyoet et al., 2016).

Secara global prevalensi, 151 (22,2%) juta anak-anak dibawah lima tahun mengalami stunting  di tahun 2013 dan diperkirakan terdapat 162 juta balita pendek pada tahun 2012, jika tren berlanjut tanpa upaya penurunan, diproyeksikan akan menjadi 127 juta pada tahun 2025. Sebanyak 56% anak pendek hidup di Asia (Das et al., 2009). Persentase balita pendek di Indonesia masih tinggi dibandingkan beberapa negara tetangga seperti Myanmar (35%), Vietnam (23%), Malaysia (17%), Thailand (16%) dan Singapura (4%) (Kementerian Kesehatan RI, 2016).  Berdasarkan hasil Riskesdas 2013 menunjukan angka Stunting  di Indonesia 37,2%, angka ini lebih besar dari tahun 2010 (35,6%) dan 2007 (36,8%) ini berarti terjadi peningkatan yang cukup besar dan pada data Riskesdas tahun 2018 mengalami penurunan menjadi 30,8% namun belum mencapai target (Riskesdas, 2013, 2018).

Indonesia telah melaksanakan berbagai intervensi terkait dengan penurunan stunting dan masalah gizi lainnya yang dilaksanakan oleh berbagai kementerian/lembaga. Berdasarkan data laporan sebelumnya terkait perbaikan gizi di Indonesia termasuk stunting dan kurang gizi selama ini masih belum maksimal. Berbagai program terkait pencegahan telah diselenggarakan, namun belum efektif dan belum terjadi dalam skala yang memadai(Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting Periode 2018-2024. 2017) Sehingga itu sangat diperlukan adalah membangun komitmen serta menjamin pelaksanaan koordinasi sampai pada tahap implementasi di lapangan yaitu suatu upaya multisektor(Baker et al., 2018).

Komitmen politik merupakan dan tindakan berkelanjutan dari waktu ke waktu oleh pemerintah untuk mencapai tujuan mengurangi dan menghilangkan manifestasi dan penyebab (kekurangan gizi). Komitmen ini diperlukan lebih dari menghasilkan perhatian pada kekurangan gizi atau memasukkannya ke dalam agenda pemerintah. Lebih lanjutnya dapat  melibatkan mobilisasi sistem dan lembaga politik, mengadopsi kebijakan, mengalokasikan sumber daya dan mengoordinasikan tanggapan selama diperlukan untuk memastikan hasil(Baker et al., 2018)

Brazil merupakan salah satu Negara yang berhasil menurunkan Stunting  pada tahun 1996 13,5%, menurun menjadi 6,8% pada tahun 2006-2007. Keberhasilan Brasil juga didorong oleh kepemimpinan politik, desentralisasi yang efektif, keterlibatan masyarakat sipil yang aktif dan pendanaan bersyarat dan bertarget. Pemerintah Brazil tidak hanya menunjukkan kemauan politik yang kuat untuk memerangi malnutrisi, tetapi juga berinvestasi secara strategis dalam kebijakan dan program untuk meningkatkan akses ke layanan social hal ini menunjukan bahwa komitmen pemerintah brazil sangat tinggi (Antonio & Weise, 2010)

Menurut Pattane (2013), dalam penelitiannya menyebutkan bahwa implementasi kebijakan dan program multisektor sangat penting pada pengentasan kemiskinan dan perawatan kesehatan primer, pembangunan ekonomi, peningkatan akses ke pelayanan kesehatan dan program gizi masyarakat yang efektif, perubahan lingkungan hal ini dapat berpengaruh pada penurunan stunting (Winichagoon, 2013). Di Indonesia sendiri salah satunya yang dikenal dengan gerakan 1000 HPK. Gerakan 1000 HPK adalah efektivitas dari inisiatif yang telah ada yaitu meningkatkan koordinasi termasuk dukungan teknis, advokasi tingkat tinggi, dan kemitraan inovatif, dan partisipasi untuk meningkatkan keadaan gizi dan kesehatan masyarakat, dan pembangunan dan didukung dengan kepemimpinan nasional dan daerah yang cukup kuat, meningkatkan  partisipasi seluruh pemangku kepentingan, bukan hanya dari pemerintah tetapi juga dunia usaha, organisasi profesi dan lembaga kemasyarakatan(Kementerian Kesehatan, 2013).

Sebuah hasil evaluasi tentang UNICEF Rwanda mengalami keberhasilan selama 2013-2018 hal ini diperkuat oleh komitmen politik dalam hal efektifitas kepemimpinan dan meningkatkan mitra kerja dalam penanggulangan stunting. Keberhasilan ini terkait dengan komunikasi perubahan perilaku untuk pengurangan stunting yang dipelajari dari Kampanye Gizi 1.000 HPK dan implementasi multi-sektor yang terdesentralisasi, termasuk peningkatan akses, ketersediaan, dan pemanfaatan makanan bergizi (keterkaitan dengan pertanian), bekerja sama bersama antara badan-badan PBB, mengidentifikasi populasi yang rentan gizi, memperkuat akuntabilitas dan struktur insentif untuk stunting dan hasil gizi lainnya, melibatkan sektor-sektor yang sensitif dalam desain program dan sertakan dalam diskusi alokasi anggaran.

Tidak ada komentar

Ruang Gizi - Gizisme. Diberdayakan oleh Blogger.